Mantap dan Mantab
Mantap dan mantab, apa bedanya bagi seorang pensiunan? Akan disebut mantap, bila jumlah uang pensiun yang diterima setiap bulan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan lebih mantap lagi, bila masih punya penghasilan di luar uang pensiun, baik yang bersifat aktif atau pasif.
Penghasilan aktif maksudnya bila si pensiunan punya usaha seperti berdagang, bertani, rumah kos-kosan, atau dapat honor dari mengajar, menulis, konsultan, dan sebagainya. Sedangkan yang pasif, bila sewaktu bekerja, si pensiunan mampu menyisihkan dana untuk ditanam dalam bentuk deposito atau obligasi yang mendatangkan imbalan setiap bulan tanpa menggerus pokok deposito atau obligasi.
Nah, mantab (pakai b) adalah akronim dari makan tabungan. Dalam hal ini, yang dimakan adalah pokok tabungan (bukan bunganya). Seperti diketahui, meskipun bank memberikan bunga atas tabungan nasabah, tapi amat kecil. Bahkan bagi para penabung yang punya saldo rendah, bisa tekor, karena bunga yang diterima lebih kecil dari potongan biaya administrasi bulanan.
Ada tetangga saya yang awal pensiun punya tabungan yang lumayan untuk ukuran masa itu, sekitar 7 tahun yang lalu. Namun tabungan tersebut sekarang saldonya tipis, karena setiap bulan diambil terus. Kebetulan ia telat menikah dan punya anak, sehingga saat memulai pensiun, dari 3 anak yang dipunyainya, belum satu pun yang sudah bekerja.
Padahal saat bekerja, kehidupannya termasuk mapan, paling tidak terlihat dari rumah dan mobil yang dimilikinya. Meski hanya pegawai biasa (tanpa menyandang jabatan) di sebuah perusahaan milik negara, gaji yang diterimanya terbilang memadai.
Awal pensiun masih disongsongnya dengan gembira karena ada sejumlah uang yang menambah tabungannya dari penerimaan tunjangan hari tua dan dari asuransi tenaga kerja. Tapi setelah itu, karena penerimaan pensiun bulanan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dimulailah proses "mantab" itu tadi.
Kenapa saya tahu sekarang tabungannya sudah tipis? Karena baru-baru ini tetangga saya tersebut menjual mobil tuanya. Lalu saya tanya apakah mau ganti yang baru? Dengan polos ia menjawab buat ditabung, dan akan dikikis lagi untuk pengeluaran rutin.
Karena sudah lumayan akrab, tanpa ditanya, ia menjelaskan kebutuhannya untuk belanja kebutuhan dapur, jajan dan transpor anak-anak, biaya listrik, air, dan pulsa telepon, dengan cara sudah berhemat, paling tidak Rp 4.000.000 sebulan. Padahal pensiun bulanan cuma Rp 2.500.000.
Dari informasi teman-teman yang bekerja di berbagai instansi dan perusahaan, ternyata uang pensiun mantan pegawai BUMN berbeda dengan mantan PNS. Di BUMN, termasuk BUMN besar yang punya citra bonafid, memberi take home pay yang relatif besar bagi pegawai aktif. Tapi komponen yang dominan adalah tunjangan, bukan gaji pokok. Bonus pun amat lumayan bagi pegawai yang memenuhi target dalam bekerja. Namun tunjangan dan bonus tidak berpengaruh terhadap pensiun bulanan nantinya, karena rumusnya adalah persentase dari gaji pokok.
Sementara di PNS unsur gaji pokok relatif dominan dalam take home pay. Alhasil mantan PNS menerima pensiun bulanan yang tidak turun terlalu jauh ketimbang penghasilan bulanan saat masih aktif. Sementara di BUMN terlihat jomplang dengan penurunan yang signifikan.
Ada cerita dari seorang teman, yang terakhir berkarir sebagai wakil kepala di level kantor dengan lingkup kecamatan dari sebuah bank BUMN. Betapa ia merasa terhormat saat berdinas karena sering di-satu meja-kan dengan Camat, Kapolsek atau Danramil dalam berbagai seremoni. Namun di saat pensiun, penerimaan bulanannya di bawah pensiunan Guru SD yang dulu waktu mengambil gaji di kantor bank, begitu hormat padanya.
Namun pensiunan BUMN sebetulnya bila saat aktif disiplin dalam menyisihkan penghasilannya untuk berinvestasi, maka besar kemungkinan punya penghasilan pasif di saat pensiun. Bahkan bisa pula punya penghasilan aktif, terutama bagi yang dulunya memegang posisi jabatan level menengah ke atas, karena masih laku bekerja lagi di tempat lain. Memulai usaha sendiri pun, dengan modal dari tabungan yang ada plus jaringan yang telah terbentuk saat bekerja, juga sangat mungkin.
Memang untuk bekerja lagi di saat pensiun, pada akhirnya terpulang pula pada karakter apakah seseorang tergolong risk taker atau risk avoider?Cukup banyak orang yang bekerja lagi, malah kejeblos kasus. Banyak pula yang berbisnis yang berujung dengan kebangkrutan. Jadi, untung ruginya harus ditimbang secara matang.
Namun, dengan perhitungan yang cermat, termasuk tidak terlalu berlebihan dalam menilai kemampuan dan potensi diri di saat kondisi fisik yang menua, mudah-mudahan akan menuai hasil positif. Tentu harus pula dicermati kondisi perkembangan teknologi yang membawa banyak peluang sekaligus juga ancaman bagi yang tidak bisa beradaptasi. Jangan pula lupa berdoa setiap saat, karena pada akhirnya keberkahan dari "yang di atas"-lah, yang paling penting.
Bagi yang sekarang masih berusia muda dan aktif bekerja, tidak ada kata terlambat untuk membuat strategi yang tepat, guna menyambut masa pensiun agar nantinya termasuk golongan pensiunan yang mantap.
Komentar
Posting Komentar